Who's Following Me?

Senin, 19 Oktober 2020

Wastra

Tubuhnya memang tidak sekuat dulu, tapi setiap hari ia masih mengolah sawah milik tetangganya. Keriput pun telah menghiasi sebagian besar wajahnya. Kulitnya juga tidak lagi sebersih saat ia masih remaja, akibat sering terpapar matahari ketika bertani. Tapi semua orang tahu bahwa pada masanya, ia adalah seorang kembang desa. 

Dua hari yang lalu, ia mengutarakan keinginan agar semua anak-cucunya datang. "Ingin membagikan apapun yang Simbok punya", katanya pada Ratih. Si cucu tertua yang memilih untuk menemani neneknya, menggantikan sang ibu yang harus merantau ke Negeri Seberang. Dengan cekatan Ratih pun menghubungi satu demi satu anggota keluarganya. 

Hari yang dinanti pun tiba, keempat anak Simbok beserta pasangan juga anak-anak mereka mulai berdatangan. Sedari pagi Simbok pun sudah meminta Ratih untuk membantunya bersiap. Dari menyiapkan kamar-kamar, hingga memasak bermacam masakan khas desa itu. Semua untuk menyambut orang-orang yang dicintainya. Malam pun tiba, semua sudah berkumpul di ruang tengah dengan rasa penasaran tanpa kesabaran.

"Jadi kenapa ibu memanggil kami semua? Cepatlah bu, besok pagi-pagi sekali saya harus kembali ke kota", ujar Tono si anak pertama.

"Sabar toh, Le... itu sedang disiapkan Ratih", terang Simbok.

"Walah... pasti nanti Mbak Ratih ki yang dapat paling banyak. Lha wong, de'e tinggal sama Simbok", gerutu salah cucu Simbok.

Tidak berapa lama, Ratih bergabung dengan membawa lima buah kotak kayu yang tampak tua sekali. Selain itu Ratih juga membawa gelas berisikan kertas yang bertuliskan nama-nama anak Simbok. Persis seperti mau mengundi nama untuk arisan. Kemudian Simbok meminta anak-anaknya itu untuk mengambil undian dengan urutan usia tertua hingga termuda. Ibu Ratih sebagai anak bungsu mendapat urutan terakhir, namun karena ia tidak ada, Simbok meminta Ratih untuk mewakilinya. Setelah itu, Simbok meminta Ratih untuk membacakan nomor masing-masing orang, karena dirinya tidak dapat membaca dengan baik.

"Pakdhe Tono dapat nomer tiga, Budhe Laksmi nomor satu, Budhe Rita nomor lima, Pakdhe Bowo nomor dua, terakhir ibuku dapat nomor empat", lapor Ratih pada seluruh keluarganya itu. 

"Nah, monggo kalian ambil kotaknya sesuai nomor. Tapi apapun yang didapat, harus kalian bawa pulang, ya", pinta Simbok.

Satu per satu dari mereka mulai mengambil kotak masing-masing dan membukanya. Beberapa langsung menampakan ekspresi terkejut, namun yang lainnya malah merasa girang. Hanya Ratih yang belum membuka kotak milik ibunya. "Biarlah nanti saja saat ibu pulang.", pikirnya. Protes demi protes mulai muncul dari mulut mereka yang tadi tampak terkejut. Kebanyakan menyayangkan hanya karena benda yang tidak seberapa nilainya itu, mereka terpaksa meninggalkan urusan yang lebih penting. 

Malam itu juga, beberapa orang yang kecewa langsung kembali ke kehidupannya masing-masing. Termasuk Tono, sembari misuh-misuh ia pergi begitu saja tanpa membawa kotak kayunya. Sepeninggal pakdhenya, anak Rita usil mengintip isi kotak itu. 

"Isinya setrika uap, Bu... pantas pakdhe tinggalkan", bisik anak itu pada ibunya. Rita sekeluarga juga tidak lama di rumah itu, selepas Subuh ia menyusul adik dan kakaknya pergi. Dan hanya menyisakan keheningan yang menjadi teman bagi  Ratih dan Simbok lagi.

"Sebenarnya apa isi kotak-kotak itu, Simbok? Kenapa mereka semua tampak kecewa? Diberi ibunya kok seperti tidak suka begitu", tanya Ratih heran.

"Seperti kata Simbok, Ratih... semua yang kumiliki. Ah, kamu belum membuka milikmu, ya?"

"Itu punya ibu, Mbok... biar nanti saja kalau ibu sudah pulang", jelas Ratih.

"Bukalah, Ratih... mumpung Simbok masih ada... uhuk... uhuk...", pinta Simbok sembari terbatuk-batuk.

Ratih pun bergegas mengambilkan segelas air untuk neneknya itu. Kemudian, Simbok masuk ke kamarnya lagi. Seperti biasa sebelum ke sawah, Simbok memang suka melihat matahari terbit dari jendela kamarnya. Namun, meskipun matahari sudah mulai meninggi, Simbok belum juga keluar dari kamarnya.

Ratih pun merasa heran dan memutuskan untuk masuk. "Ah, Simbok ketiduran rupanya", pikir Ratih saat melihat Simbok yang berada di atas dipan. Ratih bermaksud membangunkan dengan menggoyangkan lengan Simbok. Namun alangkah terkejutnya ia, saat merasakan dingin pada kulit Simbok. Sesaat Ratih terpaku dibuatnya. Secepat kilat Ratih berteriak-teriak memanggil para tetangga. 

Siang itu desa berduka. Kembang desa mereka, telah menghembuskan napas terakhirnya. Seorang diri dalam hawa dingin pagi. Ratih bergegas mengabari semua keluarga, termasuk ibunya. Dan selepasnya ia baru menyadari bahwa tidak ada sehelai pun kain di seluruh bagian rumah neneknya itu. Padahal sudah sewajarnya tubuh tak bernyawa itu ditutupi helaian kain. 

Hanya satu tempat penyimpanan yang belum diperiksa oleh Ratih. Kotak kayu milik ibunya. Dengan terpaksa Ratih membuka kotak itu dan tercenganglah ia dengan apa yang ditemukannya. Mulanya memang hanya tampak kain putih berukuran beberapa meter juga beberapa helai kain jarik. Namun, ketika ia mengangkat kain-kain tersebut, sesuatu yang berkilauan mulai tampak. Ternyata perhiasan-perhiasan Simbok yang selama ini digadaikannya kepada para lintah darat.


#Writober2020

#RBMIPJakarta

#Wastra

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih untuk yang sudah membaca atau sekedar melihat tulisan ini.

Mari budayakan memberi apresiasi pada penulis dengan berupa sebuah komentar :)