Wajahku
mendekati wajahnya.
Jantungku
mulai berdetak cepat….
Tinggal
sedikit lagi, dan bibir kami pun akan bertemu.
Jantungku semakin berdebar
Tiba
tiba….
Aaaaaaaaaaaarrrrrrggggghhhhh……
rintihku seraya memegangi dada yang ntah mengapa sakit sekali ini.
“Kamu
kenapaaaaaa????” tanyanya histeris.
“Jan..tung..ku…”
jawabku terbata-bata, dan tiba-tiba semuanya gelap.
***
"Kerusakan
yang terjadi pada jantungnya sudah sangat parah. Tak ada jalan lain. Kita harus
segera melakukan transplantasi" terang dokter dihadapanku.
“Apa?
Transplantasi?” tanyaku tak percaya.
“Ya,
apakah anda tidak mengetahuinya?”
Aku
menggelengkan kepala, pertanda tidak tau. “Lalu apakah sudah ada pendonornya?”
tanyaku.
“Maafkan
saya, tetapi sampai saat ini kami belum mendapatkan donor yang cocok untuknya.
Tapi kami akan terus berusaha mendapatkannya. Kekasihmu sudah masuk dalam
daftar utama transplantasi”
Aku
terdiam lama.
“Hmm
baiklah kalau begitu, Dok. Saya permisi dulu” kataku akhirnya seraya bangkit
dari kursi dan keluar dari ruangan itu.
Aku
berjalan menuju kamar nomor 301. Tempat kekasihku terbaring tanpa daya.
Perlahan kubuka pintu, dan menghampiri ranjangnya. Kemudian aku duduk di kursi
yang berada di samping ranjang tersebut. Aku menyentuh lengannya kemudian
kususuri sepanjang tangannya dan kuremas jemarinya.
Aku
mendekatkan bibirku ditelinganya.
“Kamu
harus kuat, sebentar lagi mereka pasti akan menemukan donor yang cocok untukmu”
bisikku.
Kemudian
aku mengecup lembut pipinya.
***
Dikejauan
tampak seorang wanita tengah menghampiri aku dan kekasihku.
Wanita
itu semakin mendekati kami…
Semakin
dekat…
Dan
kemudian…
“Ini
untuk perselingkuhanmu!” maki wanita tersebut.
Plak!!!
Satu tamparan mendarat di pipi kananku. “Apa maksudmu?” tanyaku heran.
“Dan
ini, untuk wanita itu!”
Plak!!!
Aku menerima sebuah tamparan lagi. Kali ini di pipi kiriku.
“Mulai
sekarang kita putus!” ujarnya lagi. Kemudian tanpa kata ia berlari meninggalkan
kami. Namun samar aku mendengar suara tangisnya.
***
Aku
membuka pintu mobil, masuk kedalamnya dan menghempaskan pintu dengan kasar.
Dengan air mata yang masih berlinang, aku memaksakan diri untuk mengemudikan
mobil itu. Beberapa kali penglihatanku kabur, namun aku masih dapat
mengatasinya.
Entah
mengapa malam ini jalanan sangat gelap. Lampu-lampu yang biasanya menyala di
sisi jalan, kini padam. Aku mempelambat laju mobil ini.
Tiba-tiba
dari arah berlawanan, sebuah truk gandeng berkecepatan tinggi datang dan
menghantam bagian depan mobilku.
“Aaaaaarrrrggghhhh”
teriakku sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
***
“Catat
waktu kematiannya”
“Baik,
Dok” sahut seorang suster.
“Dan
tolong tanyakan pada keluarganya, apakah dia seorang pendonor atau bukan”
***
Setelah
mengecup pipinya, aku keluar dari ruangan itu dan duduk disalah satu kursi yang
tersedia. Letih yang sedari tadi kurasa membuatku tertidur. Entah berapa lama
aku tertidur, tiba tiba seseorang menggucang bahuku pelan.
“Mbak…
bangun…” kata orang itu pelan.
“Emm…”
aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan ternyata seorang suster telah berdiri
dihadapanku.
“Ada
apa, sus? Apa yang terjadi dengan Edgar?” tanyaku histeris.
“Mbak…
mbak tenang dulu” suster tersebut menenangkanku. “Saya akan menyampaikan kabar
baik untuk mbak”
“Ya?”
“Kami
telah mendapatkan donor yang cocok untuk Edgar”
“Benar,
sus?” tanyaku tak percaya.
“Iya,
Mbak. Kalau mbak setuju, pukul 8 nanti kami akan melakukan operasinya. Tetapi
sebelum itu dokter Fatih ingin mbak berkonsultasi dulu dengan beliau”
“Hmm
baiklah, kapan sus?”
Suster
itu melirik jam dipergelangan tangannya. “Sekarang juga tidak apa-apa. Yuk, mari
saya antar”
Aku
dan suster itu berjalan menuju ruangan dokter Fatih, sesampainya disana suster
tadi menyuruhku menunggu dulu seraya ia memberi kedatanganku.
10
menit kemudian, ia menyuruhku masuk ke dalam. Dokter Fatih mempersilahkanku
untuk duduk dihadapannya.
“Jadi
dokter telah mendapatkan donor yang tepat?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ya,
Alhamdulillah kami telah mendapatkannya” jawab Dokter Fatih.
“Jadi
kapan operasinya dapat dilakukan?” tanyaku lagi.
“Secepatnya,
setelah kamu menandatangani surat ini. Semua akan langsung dipersiapkan” Dokter
Fatih menyerahkan selembar surat kepadaku. “Pahami dan tandatangani, kemudian
kami akan memulai operasi”
“Tapi
dok, adakah resiko dari tindakan ini?” tanyaku sedikit ragu.
“Hmmm
bagus kamu bertanya. Ya, kemungkinan akan ada resikonya”
“Apa
itu dok?”
“Terkadang
setelah mendapatkan donor organ, penerima akan memiliki sifat atau kebiasaan
yang sama dengan pendonor”
“Hanya
itu?”
“Ya,
hanya itu. Ada juga kemungkinan penolakan organ, namun kami akan meminimalisirnya”
“Baiklah,
lakukan operasi itu dok” kataku seraya menandatangani surat yang tadi diberikan
Dokter Fatih.
“Terimakasih
dok terimakasih” ujarku seraya bangkit dari kursi dan keluar dari ruangan itu.
Aku
kembali menuju kamar nomor 301. Kubuka pintunya perlahan dan ya masih seperti
tadi. Kekasihku itu masih terbaring tak berdaya di ranjangnya. Kudekati
ranjang, dan duduk di kursi itu lagi.
Aku
menggenggam tangannya kemudian memainkan jemarinya dengan lembut. Kudekatkan
bibirku ditelinganya.
“Kamu
–maksudku kita– berhasil sayang, mereka telah mendapatkan donor untukmu. Jadi
aku mohon bertahanlah” bisikku, tanpa terasa air mataku mulai mengalir. Aku
membelai kepalanya, dan mengecup bibirnya lembut.
“Bertahanlah
sayang, untuk aku, untuk anak kita” bisikku lagi. Ya, tanpa sepengetahuannya
aku dinyatakan positif hamil. Malam tadi aku bermaksud menyampaikannya. Namun
petaka itu keburu datang.
***
Kekasihku
telah berada didalam sana selama tiga jam, dan belum sekali pun aku mendapat
kabar tentang keadaannya. Perasaanku kacau balau. Antara senang, khawatir, dan
kecewa.
Senang.
Karena sebentar lagi kekasihku akan terbebas dari penyakitnya.
Khawatir.
Aku khawatir jika dia tidak tertolong dan anak di kandunganku ini tak akan
pernah mengenal ayahnya.
Dan
aku kecewa, kecewa karena tadi salah seorang dokter yang akan menangani
kekasihku mengatakan ia akan mengabarkan setiap jam perkembangan operasi
tersebut.
Aku lelah menanti tanpa kepastian
seperti ini. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada suster yang sedang
berjaga. 10 menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruang operasi.
“Operasinya telah selesai dan berjalan
dengan lancar” ujarnya singkat.
***
Menanti.
Menunggu. Apalah namanya, yang jelas aku benci melakukannya. Sudah pukul 5
sore, namun kekasihku belum juga bangun dari ‘tidurnya’. Semua dokter yang
kutanyai berkata bahwa itu pengaruh dari pembiusan. Namun firasatku berkata
lain. Pasti ada sesuatu dibalik ini semua. Sesuatu yang tidak beres.
Aku
meremas jemarinya untuk menenangkan diriku sendiri. Tiba tiba bagai keajaiban,
jemarinya bergerak. Disertai panggilan.
“Pandu…”
Aku
tersentak. Jadi inikah maksud dari hal yang dikatakan Dokter Fatih tadi? Dan
siapakah pendonornya?
Sungguh tega mereka.
***
~Epilog~
“Amanda,
ayo kita pergi sekarang” ujarku seraya menggendong putriku itu. Dua orang
lelaki mengapitku di kanan dan kiri.
Ya…
5 tahun telah berlalu dan inilah keluargaku sekarang. Aku, Kekasihku, Amanda
dan Pandu.
Hari
itu, setelah kejadian ironis tersebut aku memutuskan untuk melacak kepemilikan
organ di tubuh kekasihku. Dan ya ternyata organ itu milik Amanda, kekasih Pandu
kala itu. Ia meninggal akibat kecelakaan.
Walaupun
perpisahan sempat terlintas di benak kekasihku, tapi pada akhirnya cinta
kamilah yang menang. Kekasihku tetap menikahiku dan Pandu, ia menjadi bagian
dari anggota keluarga kecil kami.
wah keren endingnya mengejutkan . gak nyangka ternyata orang yg ditabrak adalah kekasihnya yang lama
BalasHapusaku juga nulis cerpen silahkan kalau mau berkunjung :D
http://sirajuddinabraham.wordpress.com/2014/03/23/fiksi-genggaman-hati/ thanks
pasti berkunjung ^^
Hapus