Aku selalu mencari jalan untuk menuju
kematian. Tetapi saat kematian itu sendiri menghampiri, aku takut dengan apa
yang akan terjadi.
***
Prolog
22 Januari
1994
Sepasang manusia yang masih
sangat muda tengah bercengkrama dengan riang. “Bermain rumah-rumahan” begitu
kata mereka pada orang yang bertanya. Gadis kecil itu berperan sebagai ibu, dan
teman lelakinya berperan sebagai ayah. Boneka-boneka si gadis, mereka sebut
dengan “anak”. Hingga petang tiba, teman
lelakinya harus pulang. Agar saat orang tua si gadis pulang dari pekerjaannya,
mereka tak melihat si lelaki.
Selalu terulang setiap hari, hingga suatu ketika
saat harus pulang anak lelaki itu berkata “Paramita, aku lelah seperti ini” Entah
darimana ia belajar mengatakan itu.
“Aku pun begitu, Reza” celetuk Paramita.
“Hari ini, bolehkah aku tinggal lebih lama?”
“Tetapi bagaimana dengan orang tuaku?”
“Tak apa, Paramitaku. Aku ingin menemui mereka”
Pipi Paramita bersemu merah mendengar ucapan Reza. Tak
lama kemudian, orang tua Paramita tiba dirumah. Dan benar saja, apa yang
ditakutkannya terjadi. Reza tak diizinkan mengunjunginya lagi. Malam itu,
kediaman keluarga Kusuma dipenuhi pertengkaran yang berujung dengan keputusan
sang ayah untuk mengirim Paramita ke rumah pamannya di Australia.
Hari keberangkatan pun tiba,
beruntung melalui kakaknya, Paramita masih dapat berkomunikasi dengan Reza. Hari itu Reza datang, ia kenakan pakaian terbaiknya hanya untuk mengucapkan
selamat tinggal pada teman yang telah ia anggap sebagai belahan jiwanya. Ia
ingin sekali menghampiri Paramita, namun apa daya kedua orang tuanya terus menjaga.
Akhirnya melalui sang kakak, Reza menitipkan pesan.
“Wahai Paramitaku, jika nanti kamu kembali, aku tak akan melepasmu lagi”
*Tulisan ini diikut sertakan dalam give away kasihelia.com : Gerakan Menulis #CintaiHidup
bagus ceritanyaaaa... *teriakhisteris* sumpah, aku sukaaa... :D
BalasHapushihi makasiii
Hapus